Selasa, 14 Februari 2012

EMANG SUDAH SEHARUSNYA FPI DITOLAK, SALUT SAMA MASYARAKAT ADAT DAYAK KALTENG

VIVAnews -  Empat delegasi Front Pembela Islam diancam tidak boleh menginjakkan kaki di Bandara Cilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu pagi 11 Februari 2012. Mereka diancam oleh ratusan masyarakat adat Dayak.

Kejadian itu berawal saat empat delegasi FPI, Sekjen FPI, Wasekjen FPI Habib Muhsin Al Atas, Ketua Bidang Dakwah KH Alwi Masykuri dan Panglima FPI Ustad Maman sedianya akan menghadiri pelantikan FPI Kalteng dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tapi, ketika pesawat Sriwijaya Air yang ditumpai mereka mendarat di bandara, pukul 10.30 WIB. Tiba-tiba sudah disambut ratusan masyarakat adat Dayak yang membawa senjata tajam.

Ratusan masyarakat adat Dayak ini berhasil merangsek masuk ke dalam landasan pesawat (apron) dengan menjebol tiang pagar bandara. Massa menghadang di depan pesawat yang hanya berjarak sekitar 50 meter.

Melihat hadangan massa, polisi yang bertugas dan kapten pesawat berinisiatif menerbangkan delegasi FPI dengan pesawat yang sama ke Banjarmasin untuk alasan keamanan.

Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Namun, keempat delegasi tersebut mengaku diancam dengan senjata tajam untuk tidak turun di Bandara Cilik Riwut, Palangkaraya.

"Kami sangat mengapresiasikan langkah polisi dan Kapten pesawat berserta crew," kata Ketua FPI, Habib Rizieq Sihab dalam keterangan tertulis kepada VIVAnews.com, Sabtu, 11 Februari 2012. (umi)
• VIVAnews

FPI ==> FRONT PERUSAK INDONESIA


Jakarta - Penolakan kehadiran FPI di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, oleh masyarakat Dayak, rupanya menjadi pemicu penolakan terhadap ormas itu di berbagai tempat. Sebagaimana diberitakan oleh media massa, setelah aksi di Palangkaraya, muncul penolakan FPI di Bunderan HI yang dilakukan oleh 100 orang yang tergabung dalam Gerakan Anti Kekerasan Tanpa FPI.

Hal yang sama juga terjadi di Kediri, Jawa Timur, di mana Ketua Gerakan Aksi Silat Muslim Indonesia (GASMI) Zainal Abidin menolak keras keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di Kediri. Organisasi pesilat ini bahkan telah menggagalkan rencana pembentukan FPI di Kediri beberapa waktu lalu.

Pastinya masyarakat yang menolak hadirnya FPI di tengah-tengah mereka karena selama ini jejak rekam organisasi itu sering menggunakan cara-cara yang tidak disukai oleh masyarakat. Sehingga mereka cemas ketika mereka ada di sekitarnya, kenyamanan dan keamanan mereka akan terancam oleh aksi-aksi yang selama ini menjadi ciri khas mereka.

Kegalauan, keresahan, dan ketidaksukaan masyarakat terhadap organisasi ini sebenarnya tertumpahkan bukan pasca peristiwa di Palangkaraya, namun sudah terjadi sejak lama. Berbagai peristiwa seperti Insiden Monas juga menjadi catatan bagi beberapa kalangan untuk menuntut pembubaran organisasi itu. Ketidakmampuan pemerintah membubarkan ormas itu berlindung pada jaminan konstitusi dan kebebasan berserikat sehingga keberadaan organisasi itu masih tetap ada.

Munculnya organisasi masyarakat sipil yang sering melakukan tindak kekerasan kalau diselusuri berangkatnya adalah ketidakmampuan aparat militer dan polisi dalam menyelesaikan masalah-masalahnya, sehingga untuk membantu menyelesaikan beratnya atau berisikonya tugas yang harus dijalankan, militer dan polisi membentuk kesatuan sipil. Kesatuan sipil bentukan inilah yang akan melakukan tugas-tugas militer dan polisi.

Sebenarnya ormas-ormas yang sering melakukan tindak kekerasan itu bisa bubar dengan sendirinya apabila polisi tegas terhadap maraknya penyakit di masyarakat. Karena polisi lamban dan tidak tegas dalam memberantas miras, narkoba, dan pornografi, membuat ormas bertindak sendiri. Mungkin saja aparat membiarkan mereka karena aparat merasa terbantu untuk menyelesaikan tugasnya.

Saat gerakan reformasi bergulir, militer dan polisi mungkin kewalahan dalam menghadapi gerakan-gerakan reformasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya. Militer dan polisi tentu akan melakukan tindakan yang fatal apabila melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang masif. Untuk melakukan tindakan kekerasan dengan tidak menggunakan tangannya, maka kesatuan-kesatuan sipil dibentuk.

Pada 17 Agustus 1998, di Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat Jakarta Selatan, berdirilah FPI. Organisasi ini berdiri kurang lebih empat bulan setelah Presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Beberapa sumber mengatakan bahwa FPI dekat dengan petinggi di kalangan Angkatan Darat yang saat ini seluruhnya sudah pensiun. Di antaranya mantan PangKostrad Letjen TNI (purn) Djadja Suparman (dekat dengan Jenderal TNI Wiranto), Mayjen TNI (purn) Zacky Anwar Makarim, Mayjen TNI (purn) Kivlan Zein, Jendral TNI (purn) Fachrul Rozi, Letjen TNI (purn) Suaidi M, dan lain-lain (catatanpolitikindonesia.blogspot.com). Menggunakan kekuatan sipil untuk melakukan tugas-tugas militer itu bukan yang pertama.

Untuk lebih mempercepat pembubaran PKI, pada tahun 1965-1966, elite militer seperti Jenderal Sarwo Edhi Wibowo melatih masyarakat sipil untuk melakukan tindakan kekerasan. Militer melakukan hal demikian, mungkin selain kekurangan personil juga untuk mengurangi catatan buruk tindak kekerasan yang dilakukan. Militer berpikiran bahwa yang melakukan hal itu bukan saja dirinya namun juga rakyat. Dan salah satu gerakan pemuda yang dibina oleh militer saat itu, tercatat saat ini masih sering melakukan tindak kekerasan. Ormas-ormas binaan itu tidak hanya melakukan kekerasan namun membunuhi ribuan orang.

Kesatuan sipil itu mau melakukan hal yang demikian bukan cuma-cuma, mereka meminta kompensasi dari militer dan polisi untuk menjadi backing. Backing itulah yang akan dijadikan pelindung mereka ketika melakukan aksinya, baik untuk kepentingan ekonomi atau mengkampanyekan ideologi dan fahamnya. Pemerintah dan polisi enggan menindak ormas-ormas yang sering melakukan tindakan melawan hukum, karena pemerintah dan polisi akan berhadapan dengan backing-backing itu. Mungkin saja backing-backing itu adalah senior-senior mereka di militer dan kepolisian.

Untuk itu maka yang diperlukan di sini adalah agar para jenderal, yang masih aktif atau yang sudah purnawirawan, tidak membentuk lagi kesatuan-kesatuan sipil untuk membantu tugasnya. Sebab ketika mereka terjun di tengah masyarakat mereka sering melakukan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan nama jenderal itu. Penyebutnamaan seorang jenderal yang menjadi backing itu sering membuat aparat berwajib mundur ketika hendak menindaknya.

Membubarkan organisasi mungkin adalah tindakan yang tidak bijak. Membubarkan organisasi adalah cara-cara Orde Baru dan Orde Lama. Di mana pada masa itu banyak partai politik dan organisasi masyarakat dibubarkan dan dilarang. Dalam era reformasi dan di dalam konstitusi bahwa kebebasan berserikat adalah dijamin, sehingga dalam masalah ormas yang sering melakukan tindakan kekerasan dan saat ini lagi menjadi isu, yang kita kedepankan adalah mengutuk tidak kekerasannya, bukan membubarkannya. Kalau membubarkan ormas, akan banyak ormas yang akan terlibas karena melakukan hal yang sama. Jadi yang perlu dituntut di sini adalah agar ormas-ormas itu mengubah cara dan tindakannya agar tidak seperti yang sudah-sudah 
( Berita from : http://news.detik.com/read/2012/02/15/132538/1843060/103/menolak-ormas-anarkis?n991102605
Gambar (1) From :     http://nasional.vivanews.com/news/read/287469-kronologis-penolakan-fpi-di-kalimantan-tengah Anggota FPI (James Nachtwey/National Geographic) )